master all operator di durenan

GROSIR PULSA DI DURENAN dijamin murah dan cepat

Lencana Facebook

Rabu, 09 September 2009

Bercengkerama Dengan Bulan Ramadhan

Puasa sebagaimana yang disinyalir dalam Al-Qur’an (2:183) merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri pada Allah, sarana mendidik diri membentuk karakter yang bertaqwa pada Allah. Taqwa yang tidak semata-mata diartikan takut pada Allah dan tidak pula diartikan hanya menjalankan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya sebagaimana yang selalu disuarakan khotib dalam mimbar-mimbar Khutbah baik Jum’at maupun sholat-sholat lainnya. Hal ini dikarenakan pengertian yang demikian cenderung untuk “merobotkan” sendi-sendi dan keutamaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.

Taqwa semestinya lebih bersifat aktif sebagaimana yang diterjemahkan oleh Muhammad As’ad dalam "The Messages of the Qur’an" sebagai God’s Conscious. Taqwa yang demikian akan menjadikan manusia selalu berinisiatif untuk menghadirkan Allah dalam setiap langkah dan tindakannya sehari-hari. Pada tahap tertentu, dengan ketaqwaannya seseorang akan senantiasa merasa rindu pada Allah sebagai perasaan takjub atas nikmat dan berkah yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Kerinduan terhadap Allah akan menuntun kesadaran yang tinggi untuk gemar melakukan kebaikan dan ringan meninggalkan ketercelaan. Manusia yang berada dalam kerinduan selalu melihat yang dirindukan, sementara orang lain tidak melihat kerinduan yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Hal ini karena seseorang yang sedang asyik itu memiliki mata hati yang tidak dimiliki oleh orang lain. Mata hati tersebut akan bersinar terang tatkala yang bersangkutan taat pada Allah. Sebaliknya matahati itu redup tatkala dia durhaka.

Taqwa yang demikian akan menjadi ruh segala aktivitas positif baik yang berhubungan dengan kepentingan dunia -seperti karir, jabatan, prestasi, keberhasilan, dsb- maupun yang berhubungan dengan aktivitas murni keagamaan dalam mencari rahmat dan berkah serta ridho dari Allah. Dengan bekal kerinduan dan kesadaran ini, maka segala aktivitas akan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas. Deru kesibukan di segala kegiatan keseharian tidak akan menjadi sepi dari ruh religius yang pada gilirannya akan menciptakan keseimbangan dan manfaat yang tidak kunjung henti.

Secara ideal, dengan bekal taqwa ini cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang cinta damai dalam persaingan dan sejahtera dalam keragaman bisa terwujud tidak hanya sekadar utopi dan retorika belaka. Sebaliknya timbul dan tumbuh suburnya budaya kekerasan, pertikaian yang tak kunjung selesai, saling melempar kesalahan, kearifan yang semakin langka dalam masyarakat akhir-akhir ini salah satu penyebabnya adalah tercerai berainya modal taqwa yang ada dalam setiap individu.

Berpuasa di bulan ramadhan seharusnya tidak hanya mengulang rutinitas kegiatan yang dilakukan sebulan dalam setahun. Melainkan senantiasa harus dibarengi dengan kreativitas untuk perbaikan tingkah laku sehari-hari. Dalam dunia tasawuf, puasa yang dilakukan sekadar menahan lapar dan haus tanpa penghayatan, sejatinya adalah puasa yang tidak bermakna. Kalau puasa itu hanya sekadar tidak melakukan aktivitas makan dan minum, mestinya fakir dan miskin tidak dikenakan kewajiban tersebut. Sebab mereka setiap hari sudah dicekam rasa lapar dan dahaga. Persoalannya, puasa bukan sekedar itu, bukan sekadar yang tidak pernah lapar supaya merasakan lapar seperti orang miskin, bukan sama sekali bernilai penyiksaan terhadap diri. Menahan makan, minum dan aktivitas seksual di siang hari hanya bagian kecil dimensi puasa yang begitu luas dan komplek.

Puasa merupakan proses pengendalian diri terhadap hedonisme tiap manusia baik itu kaya maupun yang miskin, pejabat maupun rakyat, presiden maupun pesinden, politisi maupun pegawai, pengusaha maupun pengutang. Memang hedonisme atau kebutuhan pancaindrawi pada dasarnya dibutuhkan untuk menyangga fisik kita. Tetapi sering kali kita larut dalam kendali hedonisme. Dengan kata lain, kita terjerat pada nafsu Lauwwamah, Sabu’iyah, dan Syaithaniyah. Nafsu angkara murka, nafsu kebinatangan dan nafsu setani.

Parahnya adalah batasan hedonisme itu sangat relatif dan seringkali kita menjadi naïf. Kita tidak pernah puas dengan apa yang sudah kita jejalkan pada pancaindrawi kita. Pemenuhan terhadap hedonisme itu layaknya minum air laut yang tiada habisnya, semakin direguk semakin kehausan. Dan baru akan berhenti tatakala nyawa ini telah direnggut melalui kematian. Semakin kita bersikeras memenuhi hedonisme, maka akan semakin lemah meaning fully, kedalaman nilai fitrah manusiawi kita. Meaning fully dalam kata lain adalah nafsu mutmainnah jiwa yang bersih dan damai. Untuk memperkuat meaning fully maka haruslah dengan prihatin, menunda kesenangan demi kesenangan yang lebih hakiki, yaitu surga. Derajat inilah yang hendak dicapai dengan puasa sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah “Yaa ayyuhan nafsul mutma’innah irji’i ila rabbiki radliyatan mardliyah fadhuli fi ‘ibadi wad huli jannati” Wahai jiwa yang bersih dan damai, pulanglah ke haribaan Tuhanmu dengan kerelaan, dan datanglah keharibaan-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.

Oleh karena itu puasa hendaknya dijadikan sebagai ajang pengukuran kesadaran diri untuk berpikir, merenung, berikhtiar secara kreatif mengejawantahkan ajaran-ajaran mulia keagamaan dalam kehidupan nyata. Di bulan ini kita dilecut kesadaran untuk melihat relung hati kita yang paling dalam, “Siapa aku, Siapa Engkau”. Aku ada, karena engkau ada. Paradigma demikian yang perlu kita lecutkan untuk meng-counter konsep Descartes yang menyatakan “Aku berpikir, karena itu aku ada”, sebuah konsep yang cenderung berimplikasi pada kehidupan individualistik. Dan akan kita luruskan melalui puasa dengan mengusung konsep togethersness yang berimplikasi amat luas baik ekonomi maupun sosial dalam pengertian yang komprehensif.

Disisi lain, kecemerlangan sebuah peradaban salah satunya dipengaruhi oleh akal kreatif untuk menterjemahkan nilai-nilai luhur sebagai spirit meraih kemajuan dan kehidupan yang lebih baik. Tanpa akal kreatif ini umat manusia sudah lama punah. Kejayaan peradaban Eropa dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, tidak lepas dari kreativitas otak ilmuwan barat yang kreatif dan inovatif serta peradaban Islam yang cemerlang. Dalam sejarah, Renaissance Eropa terjadi setelah mereka mengadopsi peradaban Islam.

Islam, sebagai agama mulia, berhasil mengantarkan generasi pendahulu menuju zaman kecermelangan. Keberhasilan para pendahulu dalam sejarah Islam ditentukan –salah satunya- oleh penghayatan mendalam dan pelaksanaan sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari. Peradaban yang dibangun berdasarkan semangat Islam tersebut yang menyebabkan para pemerhati Islam menyatakan bahwa Islam bukan hanya sekadar sebuah agama, melainkan peradaban yang paripurna. Islam isn’t only religion but also a great civilization.

Ramadhan, sebagai bulan yang penuh berkah, selayaknya dijadikan sebagai bulan cinta kasih antar kita sesama umat. Sekaligus sebagai sarana dan momen yang paling tepat untuk memperbaiki diri dalam membalas cinta dan kasih yang ditebarkan Rasulullah. Ramadhan seharusnya dijadikan sebagai sarana “berasyik ria”, “bermesraan” dengan Allah lewat ibadah-ibadah mahdhah serta sebagai ajang tali kasih antar sesama umat manusia, sebagai makhluk individu dan sosial. Sehingga pada nantinya berbagai macam kasus pencurian, korupsi, ancaman, pengeboman dan berbagai macam tindakan mungkar tidak akan terjadi di negeri yang kita cintai ini. Tanpa kepekaan sosial, ajaran islam tidak sempurna dan terhenti pada hablum minallah saja, dengan melupakan hablum minannas.

Melihat kenyataan sebagaimana yang digambarkan di atas, puasa mempunyai arti yang sangat penting dan luas, puasa bukan ritus eksklusif tetapi ritus yang sangat inklusif. Karena itu, maka manusia perlu untuk melakukan puasa, sebab sebagaimana yang dilukiskan dalam Al-Qur’an bahwa manusia mempunyai potensi yang tak terbatas untuk menjadi makhluk ciptaan Tuhan yang baik atau yang buruk. Dalam kondisi yang demikian, puasa mengingatkan pada potensi yang tak terbatas itu jangan sampai terjerembab dalam lembah nista.

Dengan demikian sesungguhnya sangatlah rugi mereka yang menjumpai Ramadhan, tetapi tidak mau mengambil hikmah dari Ramadhan. Sebab telah berulangkali Rasullullah memberi nasehat mengenai keutamaannya yang pada hakikatnya semua itu bertujuan agar kita tidak sekadar mensyukuri dan mengetahui nilainya, tetapi agar kita juga mau berusaha untuk menyempurnakannya dengan berbagai bentuk amalan-amalan.

Tidak ada komentar: